• Jumat, 30 Desember 2016

    Kalau Saja Jalan Bebas Hambatan Datang Lima Tahun Lebih Awal



    Lebaran 2011 saya yang baru setahun kerja di Jakarta ndak kebagian tiket kereta pulang. Lebaran kala itu lebaran pertama saya setelah jadi anak rantau. Dengan polosnya saya menunda beli tiket kereta karena mau nunggu THR yang baru turun dua minggu menjelang lebaran. Saya nggak tahu waktu itu kalau tiket mudik segitunya diperebutkan, segitu cepatnya habis. Saking cepatnya sampai rasanya tiket kereta nggak pernah benar-benar dijual online. Muncul di situs penjualan sebentar lalu hilang nggak bersisa. Mirip postingan curhat di blog atau swafoto di instagram yang beberapa detik kemudian kita hapus karena ternyata norak.


    Singkat cerita waktu itu saya akhirnya mudik ke Malang naik bus, berangkatnya dari terminal Rawamangun. Dan ternyata mudik lebaran naik bus waktu itu makan waktu sehari lebih, satu hari dua malam tepatnya. Macet. Padahal kalau mudik ke Malang naik kereta hanya makan waktu 12-14 jam-an.


    Jadi bayangkan saja gimana sedihnya saya, anak rantau newbie yang walaupun seneng karena di Jakarta akhirnya bisa nonton The Adams tetap saja sering kangen Tani Maju dan The Morning After. Anak rantau yang super duper kangen Ibuk dan geguyonan sama adik-adik.


    Bus saya yang jadwalnya sudah tersedia di Rawamangun jam 1 siang nyatanya baru datang habis Isya dan baru berangkat jam 9-an malam. Saya tidur di bus, terbangun jam 1 malam dan masih lihat Kopaja. Dalam hati dunanges sangat. Ya Allah Gusti susahnya keluar dari Jakarta…Dan macet terus berlanjut selama perjalanan. 


    Saya berandai-andai, kalau di lebaran 2011 Bin Idris sudah bikin lagu “Jalan Bebas Hambatan” barangkali bisa sedikit menolong momen-momen dunanges saya di bus. Barangkali juga saya jadi hanya mrebes mili di satu atau dua saja toilet rest area, bukan di setiap toilet rest area.


    …Berbulan-bulan kau belum pulang, aspal jalanan pun engkau terjang, menuju rumah untuk bertemu Papa dan Mama.


    …Tak perlu terburu-buru, biarpun sudah kepalang rindu. Sedikit terlambat, yang penting selamat.

    …tidak perlu nafsu, yang di rumah kan menunggu.

    …baca bismillah, alhamdulillah.


    Sepenangkapan saya lagu ini soal perjalanan pulang ke rumah. Itulah kenapa saya merasa terkait. Walaupun kelihatannya lagu ini lebih relate-able kalau kamu pulangnya road trip naik mobil nyetir sendiri gitu, tapi saya tetap saja berharap lagu ini sudah ada tahun 2011.


    Nada lagu ini sebenarnya repetitif sih, gitu-gitu aja. Tapi liriknya lucu jadi ndak bosan. Kalau dulu lagu ini sudah bisa masuk playlist mudik, mungkin setidaknya saya bisa mesem sebentar ditengah-tengah nahan air mata jatuh dari mata yang sudah mbrabak parah. Lalu mencoba permanen mengalihkan nangis ke mantra “lebih baik sabar daripada barbar” – potongan lain lirik lagu ini. Lebih baik terpaksa jalan pelan ketimbang gupuh ndak karu-karuan seperti pengalaman shocking sodaaa waktu perjalanan Malang – Jogja naik Sumber Kencono.


    Dan tiap kali mantranya gagal tinggal putar ulang lagunya lalu njegigis sekali lagi pada potongan lirik yang ini:


    Sinar mentari silau menikam, kau kenakan kacamata hitam dua puluh ribu, mereka tak perlu tahu.


    Well, saya belum ada rencana mudik ke Malang naik bus lagi dalam waktu dekat. Tapi rasanya lagu ini perlu disimpan ke daftar future playlist untuk nanti, di hari saya dan suami sudah punya mobil dan mudik road trip naik mobil nan adem dan nyaman bersama dedek-dedek lucu, anak kami yang sudah ndak sabar ketemu Mbah Putrinya. Amiiin.


    …Dan jangan lupa berdoa..

    Gitu kata lagunya :’)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    COPYRIGHT © 2017 MANZILA | THEME BY RUMAH ES