• Selasa, 31 Oktober 2017

    Akhirnya Jadi Anak Stranger Things Juga




    Sebenarnya bukan baru-baru ini sih saya dengar atau tahu "Stranger Things" (serial fiksi ilmiah horror yang tayang di Netflix sejak Juli tahun lalu). Serial ini selain populer diantara fans, juga banyak dapat ulasan positif dari kritikus. Otomatis saya sering lihat sekilas berita soal Stranger Things waktu buka-buka artikel hiburan dan sosial media. Terutama soal betapa unyu dan adorable-nya dedek-dedek pemain karakter dalam serial ini. Terutama Millie Bobby Brown yang dapat nominasi Emmy di umur 13 tahun. Hebat kan? Sementara saya, di umur 13 tahun masih gagal move on dari Petualangan Sherina lalu bikin dance cover receh lagu "Jagoan" bareng anak-anak tetangga 😅.

    Tapi waktu itu jujur saja saya nggak ngebet banget nonton Stranger Things. Habis genrenya horror sih, saya jadi parno duluan. Malas saja rasanya menghabiskan waktu dibikin takut dan ujungnya susah tidur. Mendingan dibikin mewek sesenggukan gara-gara nonton This Is Us kalau menurut saya mah.

    Tapi belakangan setelah musim 1 kelar tayang,  semakin saya sering nemu artikel yang muji-muji Stranger Things, yang bilang kalau serialnya seru, pada kangen sama geng dedek-dedek Mike, Dustin, dkk, sampai yang bilang kalau scoring musik Stranger Things oke banget dan masuk nominasi Grammy. Apalagi akhir bulan Oktober kemarin Stranger Things musim 2 dirilis. Hip-nya serial ini semakin terasa, dan saya pun semakin penasaran juga jadinya.

    Akhirnya saya nonton musim 1 karena kadung penasaran. Nggak berekspektasi banyak sih, ehhh ternyata di luar perkiraan, saya suka Stranger Things!

    Lho kok bisa?

    Bisa, karena, pertama (dan ini paling penting) Stranger Things tidak seseram yang saya kira. Horornya ternyata horor monster, menurut saya masih tolerable ketimbang film hantu-hantu biasa atau thriller psikopat. Bisa dibilang seperti nonton E.T. tapi versi nggak 'unyu', kompleks dan lebih tegangnya. Pun ketegangan di Stranger Things levelnya pas, nggak bikin stres tapi cukup untuk seru-seruan dan mancing rasa penasaran. Nontonnya deg-degan sih tapi masih bisa menguatkan diri lah.

    Kedua, karakter geng dedek-dedek dalam serial ini memang gemesin banget. Sekumpulan nerd cilik yang cupu dan kerap di-bully tapi berani melawan dan membela diri juga kalau memang sudah kelewat parah. Ada juga karakter guru di sekolah dedek-dedek ini yang 'manis' sekali, berdedikasi dan selalu memotivasi rasa keinginantahuan murid-muridnya. Intinya beberapa bagian dari serial ini membuat kita merasa bahwa jadi nerd atau freak itu nggak berarti buruk. Nggak punya banyak teman memang, tapi toh apa gunanya punya  teman banyak kalau kita nggak bisa jadi apa yang kita mau waktu bareng mereka? Enakan juga punya teman sedikit, walaupun nggak bisa mendongkrak popularitas tapi bisa nyaman jadi cupu bareng-bareng.

    Ketiga, serial yang mengambil latar waktu era 80-an ini bikin era itu terlihat 'lucu' dan agak keren, beda dengan gambaran era 80-an yang saya tonton di film macam Pretty in Pink atau The Breakfast Club yang beberapa bagiannya bikin saya mbatin "ih jaman segitu norak banget sih." Well bisa jadi saya nonton film yang salah sih, tapi terlepas dari  itu saya tetap merasa penggambaran era 80-an di Stranger Things 'lucu'. 

    Bocah-bocah pergi ke sekolah dan main malam-malam pakai sepeda yang ada lampunya, Atari, arcade games, kliping, juga scoring musik yang terasa 80-an sekali tapi 'lucu', bukan asal elektronik disko-disko aerobik nggak jelas gitu. Oh ya, hampir lupa, di serial ini juga ada satu lagu The Clash yang kok jadi pas banget gitu sama jalan cerita. Lucu deh.

    Keempat, nggak monoton dan bikin ketagihan banget. Rasanya ini patokan gampang untuk bilang sebuah serial bagus atau enggak. Walaupun durasinya panjang, alurnya nggak lambat dan selalu menyisakan misteri untuk ditonton di episode berikutnya. Durasi per episode serial ini hampir satu jam tapi rasanya seperti 30 menit kurang dikit.

    Kelima, nggak full horror tapi, masih ada unsur drama walaupun sedikit. Intinya nonton serial ini nggak melulu tegang, jadi saya masih bisa bertahan nonton sampai akhir musim 1 dan sekarang mulai nonton musim 2. Ada konflik keluarga, pertemanan, cinta-cintaan, krisis identitas masa muda, dedikasi sama profesi, anxiety problem, trauma. Pokoknya ada nilai lain yang bisa diambil selain ketakutan. 

    Keenam, ada playlist Spotify-nya. Hehehe yang ini nggak penting-penting amat sih. Tapi lucu aja waktu Netflix kerja sama dengan Spotify menyediakan playlist lagu untuk masing-masing karakter Stranger Things dan mendeteksi kecenderungan playlist kita lebih mirip tokoh yang mana.

    Nah kira-kira itu deh poin yang oke-oke soal Stranger Things. Nggak okenya mungkin bagian cerita soal Nancy (kakak salah satu dedek, Mike). Personally saya nggak suka karena bagian cerita yang ini tipikal mbak-mbak pinter kesengsem mas-mas ganteng populer terus ga jadi dirinya sendiri dan ninggalin temen gitu deh. Sisanya sih oke dan gak ada yang sangat mengganggu buat saya. Eh tapi ulasan ini sebagian besar baru berdasar musim 1 saja ya, karena musim 2 baru rilis dan saya sedang 'otw' nonton. Nanti kalau sudah selesai dan sempat insyaallah  diperbarui lagi reviewnya :) 




    Catatan:
    Foto dalam unggahan ini diambil dari pinterest Sedona Baldwin dengan perubahan oleh Manzila

    Senin, 16 Oktober 2017

    Pemeriksaan Kehamilan di BWCC Jagakarsa




    Keputusan saya memilih BWCC (Bintaro Women and Children Clinic) Jagakarsa untuk pemeriksaan kehamilan rutin bermula dari Facebook. Beberapa teman saya mengikuti dan sering berbagi postingan akun dr. Kartika Hapsari SpOg. Sebenarnya saya belum hamil waktu itu, tapi karena merasa banyak info baru yang saya dapat soal kesehatan perempuan dan anak, saya pun mengikuti akun itu juga dengan niat menambah ilmu sekaligus persiapan (walaupun nikah juga masih baru hehe).

    Setahun lebih berlalu, alhamdulillah akhirnya doa saya dan suami dikabulkan Allah. Hasil test pack menunjukkan saya positif hamil. Untuk memastikan, kami pun mulai mencari dokter kandungan terdekat. Saya lalu ingat suatu hari dr Kartika pernah berbagi info tentang klinik baru cabang BWCC Jagakarsa. Setelah kroscek via internet dan menemukan ulasan positif, kami pun berangkat.

    BWCC Jagakarsa terletak di Jalan M. Kahfi I no.31B Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kalau dari arah Kebagusan/ Ragunan, letak klinik ini tak jauh dari pool Taksi Express. Bentuk bangunannya ruko empat lantai, memang nggak terlalu besar, tapi menurut saya nyaman karena jauh dari kesan rumah sakit. Kursi di ruang tunggunya empuk, jadi nyaman umtuk ibu hamil. Selain itu, ada space bermain anak, jadi memudahkan ibu-ibu yang hamil anak kedua, ketiga, dst waktu kontrol rutin bersama anak. Di dekat meja pendaftaran juga dijual minuman dan camilan, jadi tak perlu repot nyari camilan di luar.


    ruang tunggu
    (foto diambil dari Facebook fanpage BWCC Jagakarsa)

    tempat bermain anak
    (foto diambil dari Facebook fanpage BWCC Jagakarsa)

    Pelayanan di BWCC Jagakarsa ramah dan nggak ribet menurut saya. Stafnya baik, nggak jutek kalau ditanya-tanya. Jadwal dokter diupdate setiap hari di laman facebook dan reservasinya pun tidak harus dengan datang ke klinik. Bisa via telepon atau whatsapp, sangat praktis. Jika ada perubahan waktu kedatangan dokter (misalnya karena dokter menangani persalinan atau keperluan mendadak lainnya) kita akan dikabari via telepon, jadi nggak perlu buru-buru berangkat tapi eh ternyata dokternya telat. Kalau misalnya kita yang tiba-tiba berhalangan datang, cukup telepon atau whatsapp dan memindahkan jadwal ke hari lain, jadi kuota kita di hari tersebut bisa dipakai ibu hamil lain yang memerlukan. Oh ya, di sini antrian untuk masing-masing slot jadwal dokter hanya dibatasi 15 orang saja, jadi walaupun dapat antrian terakhir pun nggak nelangsa-nelangsa banget. Saya sempat periksa ke dua RS di Jakarta Selatan dan antriannya bisa sampai 20 bahkan 40 orang per slot jadwal dokter.

    Pemeriksaan medis yang tersedia di BWCC Jagakarsa cukup komplit. Walaupun nggak selengkap layanan di rumah sakit besar, tapi menurut saya sudah sangat oke untuk pemeriksaan rutin. Ditambah lagi harganya relatif bersahabat. Selain layanan medis seperti USG, USG 4D, USG transvaginal, pemeriksaan lab, dll, BWCC Jagakarsa juga menyediakan layanan tambahan seperti kelas laktasi, hypnobirthing, dan prenatal yoga. Kabarnya di BWCC Jagakarsa juga akan dibuka kelas persiapan kehamilan dan persalinan seperti di BWCC Bintaro.

    Tapi dari semua yang sudah disebutkan di atas, rasanya faktor yang paling jadi penentu saat periksa kehamilan itu dokternya, ya nggak sih? Saya kontinu periksa di BWCC Jagakarsa juga karena merasa cocok dengan dokternya.

    Awalnya saya saya rutin kontrol dengan dokter Dini Utari Spog. Tapi karena sempat baca dan dengar cerita buibu lain, jadinya penasaran pingin nyoba kontrol dengan dokter Dian Indah Purnama Spog juga. Setelah dicoba, eh ternyata dua-duanya sama-sama enak. Keduanya baik, ramah, mau menjelaskan (alias nggak diem-diem aja) dan sangat terbuka kalau kita punya pertanyaan terkait kehamilan. Akhirnya saya kontrol dengan dua dokter ini deh, gantian, menyesuaikan jadwal yang tersedia dan cocok hehehe.

    Di trimester pertama, saya sempat mengalami beberapa kali pendarahan, dan di trimester kedua, dokter menemukan beberapa kemungkinan indikasi khusus pada bayi saya. Alhamdulillah banget saat menemukan menemukan masalah pada kehamilan saya, kedua dokter ini ngasihtaunya nggak bikin panik walaupun mereka tetap nggak menyepelekan masalahnya juga. Saya dan suami jadi sangat terbantu untuk tetap tenang sambil menjalani pengobatan atau tindakan medis yang dianggap perlu.

    Oh iya, soal pengobatan dan tindakan medis, menurut saya dokter di BWCC Jagakarsa pro RUM (alias Rational Usage of Medicine). Di trimester pertama saat tak ada indikasi macam-macam, saya nggak diberikan vitamin atau obat yang aneh-aneh, dokter juga lebih menyarankan cara-cara non-obat untuk mengatasi mual, muntah, dan asam lambung yang makin parah saat hamil. Begitu juga ketika pendarahan dan sering kontraksi, obat diberikan karena memang betul-betul perlu, tapi saya tetap diwanti-wanti untuk segera menghentikan penggunaan obat ketika keluhan hilang.

    Persoalan pro RUM ini juga terbukti waktu saya kena diare dan demam di trimester kedua. Saya terpaksa periksa ke dokter kandungan lain di sebuah RS karena kuota periksa di BWCC Jagakarsa penuh. Dokter meresepkan obat yang waktu saya kroscek ke internet mendapat label cukup berbahaya untuk ibu hamil, beda dengan hasil googling obat-obat yang sebelumnya saya dapat dari BWCC. Padahal sakitnya cuma diare dan demam. Waktu suami saya minta tolong teman untuk numpang konsultasi via whatsapp ke dokter langganan istrinya, dokter tersebut pun nggak menyarankan obat saya, katanya cukup minum new diatabs saja bila perlu. Hasil saya kroscek new diatabs via internet ternyata jauh lebih aman ketimbang obat awal yang diresepkan dokter.

    Di BWCC Jagakarsa, selain kontrol rutin bulanan saya juga mengikuti kelas prenatal yoga (walaupun nggak rutin tiap minggu sih, suka bolos hehehe). Awalnya saya yoga sendiri di rumah, belajar dari video di youtube dan grup telegram Keluarga Gentle Birth. Cuma karena dalam yoga ada beberapa gerakan yang tidak disarankan untuk kondisi tertentu (bayi sungsang misalnya), saya jadi takut salah. Akhirnya saya ikut kelas prenatal yoga di BWCC Jagakarsa. Pengajarnya mbak Dyah Pratitasari (mbak Prita), seorang praktisi yoga, doula, konselor laktasi dan fotografer persalinan.

    Saya memang nggak punya pembanding sih, karena nggak pernah ikut yoga di tempat lain. Tapi saya merasa puas, senang dan terbantu dengan kelas prenatal yoga di BWCC Jagakarsa. Dari segi fisik, keluhan seperti sakit punggung, nyeri di panggul, dan tulang ekor berkurang signifikan. Dari segi mental saya juga terbantu, karena di setiap pertemuan Mbak Prita akan mengawalinya dengan sesi sharing kondisi masing-masing peserta dan keluhan yang dialami (alias curhat singkat), baru setelah itu kelas yoga dimulai dan gerakannya pun disesuaikan untuk mengatasi keluhan-keluhan tadi. Sesi akhir diisi dengan relaksasi, sugesti positif dan komunikasi dengan janin, tujuannya supaya badan kembali ke kondisi semula dan pikiran lebih tenang, nggak cemas serta lebih terhubung dengan bayi dalam kandungan. Setelah relaksasi, kelas ditutup dengan sharing apa yang dirasakan setelah ikut kelas hari itu. Well, kalau ditulis begini sih kesannya mungkin biasa saja, tapi di kondisi sesungguhnya rasanya itu beda dan lumayan empowering sih buat saya. Ketemu ibu-ibu lain dengan pengalaman kehamilan yang bermacam-macam, mendengar cerita soal apa-apa yang mereka usahakan dan harapan-harapan untuk proses persalinan nanti, juga kelegaan karena bisa mengeluarkan uneg-uneg (yang seringkali sulit dipahami suami atau orang terdekat lain yang nggak lagi hamil) kepada orang-orang yang juga mengalami atau setidaknya lebih mengerti. Rasanya hepi hehehe (dan terharu juga kadang-kadang :p)

    Nah sebelum kelamaan dan beleber kemana-mana ceritanya, kira-kira itu lah yang bisa saya share soal BWCC Jagakarsa. Kalau saja saya tak punya rencana melahirkan di kampung halaman (biar anak saya asli Arema :p), rasanya saya ingin juga nanti melahirkan di BWCC Jagakarsa. Dari info buibu, dua dokter saya di BWCC Jagakarsa sabar, pro normal, dan pro VBAC. Kliniknya sendiri juga pro IMD , mengijinkan kita melahirkan didampingi doula, dan biaya persalinannya relatif nggak mencekik untuk ukuran Jakarta.

    Sekian, semoga bermanfaat :)




    Catatan: foto pada judul unggahan ini diambil dari aliciaannphotographers.com dengan tambahan teks oleh Manzila


    COPYRIGHT © 2017 MANZILA | THEME BY RUMAH ES